1. Revitalisasi Kawasan Kejiranan
Merupakan rangkaian upaya menghidupkan
kembali kawasan yang cenderung mati, meningkatkan nilai-nilai vitalitas
yang strategis dan siginifikan dari kawasan yang masih mempunyai potensi
serta pengendalian lingkungan kawasan.
Dilakukan melalui pengembangan kawasan tertentu yang layak untuk
direvitalisasi baik dari segi setting (bangunan dan ruang kawasan),
kualiti lingkungan, sarana, prasarana dan utilitas kawasan,
sosio-kultural, sosio-ekonomi dan sosio-politik.
Kebijakan
1:
Revitalisasi
kawasan dilakukan pada kawasan-kawasan strategis/potensial yang menurun
produktivitas ekonominya dan terdegradasi lingkungan fisiknya, serta sudah
menjadi komitmen Pemda untuk menangani
Kebijakan 2:
Peningkatan kualitas penataan bangunan dan lingkungan yang
mampu memberdayakan aktivitas ekonomi, sosial dan budaya kawasan.
Kebijakan
3:
Pengelolaan
kawasan revitalisasi yang berkelanjutan.
Kebijakan
1:
Revitalisasi
kawasan dilakukan pada kawasan-kawasan strategis/potensial yang menurun
produktivitas ekonominya dan terdegradasi lingkungan fisiknya, serta sudah
menjadi komitmen Pemda untuk menangani kawasan tersebut secara optimal.
Strategi:
a)Kawasan
yang menurun produktivitas ekonominya, terjadi degradasi lingkungan dan/atau
penurunan kerusakan
urban heritage.
b)Lokasi
yang memiliki nilai investasi/potensi
peningkatan nilai properti yang tinggi.
c)Kawasan strategis yang berpotensi di sektor pariwisata, perdagangan, permukiman, industri, pasar, budaya, pendidikan, ekologi dan warisan budaya.
d)Kota-kota yang strategis menurut UU Tata Ruang (PKN, PKW, PKK).
c)Kawasan strategis yang berpotensi di sektor pariwisata, perdagangan, permukiman, industri, pasar, budaya, pendidikan, ekologi dan warisan budaya.
d)Kota-kota yang strategis menurut UU Tata Ruang (PKN, PKW, PKK).
e)Komitmen Pemda yang
tinggi.
f)Kepemilikan tanah (land
tenure)
yang tidak bermasalah.
Kebijakan 2:
a)Meningkatkan aksesibilitas, keterkaitan serta fasilitas kawasan untuk mengintegrasikan kawasan dengan sistem kota.
b)Menciptakan kualitas lingkungan yang
kreatif dan inovatif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
c)Memenuhi
standart minimal pelayanan prasarana sarana kawasan.
d)Mengkonservasi
ruang dan bentuk (morfologi dan tipologi ruang dan bangunan) yg signifikan
secara kultural dan sejarah.
e)Memperbesar
delineasi (batas) luas kawasan PRK agar dampak revitalisasi lebih optimal.
Strategi:
Strategi:
a)Mengembangkan kapasitas Pemda (Local
Government Capacity) untuk mengelola PRK dan Pemda sebagai pengembang (Local
Government as Public Developer).
b)Mendorong
konsistensi Pemda dalam merencanakan, memprogramkan, melaksanakan,
memonitoring dan mengevaluasi, serta mempromosikan dan memasarkan
revitalisasi.
c)Menciptakan skema kerjasama pemerintah, swasta dan masyarakat yang
menguntungkan setiap pihak (Public
Private Community Partnership).
Peningkatan kualitas penataan bangunan dan lingkungan yang
mampu memberdayakan aktivitas ekonomi, sosial dan budaya kawasan.
Kebijakan
3:
Kebijakan
3:
Pengelolaan
kawasan revitalisasi yang berkelanjutan.
Strategi:
a)Mengembangkan kapasitas Pemda (Local
Government Capacity) untuk mengelola PRK dan Pemda sebagai pengembang (Local
Government as Public Developer).
b)Mendorong konsistensi Pemda dalam merencanakan, memprogramkan, melaksanakan, memonitoring dan mengevaluasi, serta mempromosikan dan memasarkan revitalisasi.
c)Menciptakan skema kerjasama pemerintah, swasta dan masyarakat yang
menguntungkan setiap pihak (Public
Private Community Partnership).
(Lihat Diagram: Peran Pemangku Kepentingan)
Pemerintah
A. Rencana & pedoman revitalisasi kota/kawasan
B. Konservasi kota/kawasan (bila diperlukan)
C. Perbaikan & peningkatan infrastruktur
D. Manajemen revitalisasi kota/kawasan:
−Promosi
−Insentif
−Leveraging
the private sector (partnership)
−Land
security
−Percontohan
−Relokasi kantor-kantor pemerintah
E. Pengembangan perumahan pemerintah
F. Menetapkan kawasan revitalisasi sebagai kawasan strategis
G. Regulasi rencana pembangunan kawasan (Perda/SK Kepala
Daerah)
Masyarakat/Swasta
A. Manajemen revitalisasi kota/kawasan:
•Promosi
•Adaptive
re-use
Perbaikan
& perawatan
B. Lingkungan, bangunan
& perumahan:
−Menciptakan lapangan kerja/ usaha
−Pembangunan perumahan & sarana
−Peningkatan kualitas lingkungan
2. Creative City
The Creative City when introduced was seen as aspirational; a clarion call to encourage open-mindedness and imagination implying a dramatic impact on organizational culture. Its philosophy is that there is always more creative potential in a place. It posits that conditions need to be created for people to think, plan and act with imagination in harnessing opportunities or addressing seemingly intractable urban problems. These might range from addressing homelessness, to creating wealth or enhancing the visual environment. Its assumption is that ordinary people can make the extraordinary happen if given the chance. Creativity is seen as applied imagination. In the Creative City it is not only artists and those involved in the creative economy that are creative, although they play an important role. Creativity can come from any source including anyone who addresses issues in an inventive way be it a social worker, a business person, a scientist or public servant.
It advocates that a culture of creativity be embedded in how urban stakeholders operate. By encouraging legitimizing the use of imagination within the public, private and community spheres the ideas bank of possibilities and potential solutions to any urban problem will be broadened.
This requires infrastructures beyond the hardware - buildings, roads or sewage. Creative infrastructure is a combination of the hard and the soft. The latter includes a city’s mindset, how it approaches opportunities and problems; its atmosphere and incentives and regulatory regime. To be a creative city the soft infrastructure includes: A highly skilled and flexible labour force; dynamic thinkers, creators and implementers. Creativity is not only about having ideas, but also the capacity to implement them.
The Creative City identifies, nurtures, attracts and sustains talent so it is able mobilize ideas, talents and creative organizations. The built environment – the stage and the setting - is crucial for establishing the milieu. A creative milieu is a place that contains the necessary requirements in terms of hard and soft infrastructure to generate a flow of ideas and inventions. A milieu can be a building, a street an area, a city or a region.
The popularity of creativity came about because of the increased recognition that the world and its economic, social and cultural structures was changing dramatically. This was driven in part by information technology revolution. The old way did not work sufficiently well. Education did not prepare students for the demands of the new world; organization, management and leadership with its control ethos and hierarchical focus did not provide the flexibility, adaptability and resilience to cope in the emerging competitive environment; cities whose atmosphere, look and feel were industrial and where quality of design was low were not attractive and competitive. Coping with these changes required a re-assessment of cities’ resources and potential and a process of necessary re-invention on all fronts.
Kota Kreatif apabila diperkenalkan dilihat sebagai aspirasi ; satu seruan untuk menggalakkan keterbukaan minda dan imaginasi membayangkan kesan dramatik pada budaya organisasi. Falsafahnya ialah sentiasa ada potensi lebih kreatif dalam tempat. Ia menegaskan bahawa syarat perlu diwujudkan bagi orang-orang untuk berfikir , merancang dan bertindak dengan imaginasi dalam memanfaatkan peluang atau menangani masalah bandar yang seolah-olah sukar dikawal. Ini mungkin terdiri daripada berucap tiada tempat tinggal , untuk mencipta kekayaan atau meningkatkan persekitaran visual. Andaian adalah bahawa orang biasa boleh membuat luar biasa berlaku jika diberi peluang. Kreativiti dilihat sebagai imaginasi digunakan. Di Bandar Creative ia bukan sahaja artis dan mereka yang terlibat dalam ekonomi kreatif yang kreatif , walaupun mereka memainkan peranan yang penting. Kreativiti boleh datang dari mana-mana sumber termasuk sesiapa sahaja yang menangani isu-isu dengan cara yang berdaya cipta sama ada seorang pekerja sosial, orang perniagaan , ahli sains atau pengkhidmat awam.
The Creative City when introduced was seen as aspirational; a clarion call to encourage open-mindedness and imagination implying a dramatic impact on organizational culture. Its philosophy is that there is always more creative potential in a place. It posits that conditions need to be created for people to think, plan and act with imagination in harnessing opportunities or addressing seemingly intractable urban problems. These might range from addressing homelessness, to creating wealth or enhancing the visual environment. Its assumption is that ordinary people can make the extraordinary happen if given the chance. Creativity is seen as applied imagination. In the Creative City it is not only artists and those involved in the creative economy that are creative, although they play an important role. Creativity can come from any source including anyone who addresses issues in an inventive way be it a social worker, a business person, a scientist or public servant.
It advocates that a culture of creativity be embedded in how urban stakeholders operate. By encouraging legitimizing the use of imagination within the public, private and community spheres the ideas bank of possibilities and potential solutions to any urban problem will be broadened.
This requires infrastructures beyond the hardware - buildings, roads or sewage. Creative infrastructure is a combination of the hard and the soft. The latter includes a city’s mindset, how it approaches opportunities and problems; its atmosphere and incentives and regulatory regime. To be a creative city the soft infrastructure includes: A highly skilled and flexible labour force; dynamic thinkers, creators and implementers. Creativity is not only about having ideas, but also the capacity to implement them.
The Creative City identifies, nurtures, attracts and sustains talent so it is able mobilize ideas, talents and creative organizations. The built environment – the stage and the setting - is crucial for establishing the milieu. A creative milieu is a place that contains the necessary requirements in terms of hard and soft infrastructure to generate a flow of ideas and inventions. A milieu can be a building, a street an area, a city or a region.
The popularity of creativity came about because of the increased recognition that the world and its economic, social and cultural structures was changing dramatically. This was driven in part by information technology revolution. The old way did not work sufficiently well. Education did not prepare students for the demands of the new world; organization, management and leadership with its control ethos and hierarchical focus did not provide the flexibility, adaptability and resilience to cope in the emerging competitive environment; cities whose atmosphere, look and feel were industrial and where quality of design was low were not attractive and competitive. Coping with these changes required a re-assessment of cities’ resources and potential and a process of necessary re-invention on all fronts.
Kota Kreatif apabila diperkenalkan dilihat sebagai aspirasi ; satu seruan untuk menggalakkan keterbukaan minda dan imaginasi membayangkan kesan dramatik pada budaya organisasi. Falsafahnya ialah sentiasa ada potensi lebih kreatif dalam tempat. Ia menegaskan bahawa syarat perlu diwujudkan bagi orang-orang untuk berfikir , merancang dan bertindak dengan imaginasi dalam memanfaatkan peluang atau menangani masalah bandar yang seolah-olah sukar dikawal. Ini mungkin terdiri daripada berucap tiada tempat tinggal , untuk mencipta kekayaan atau meningkatkan persekitaran visual. Andaian adalah bahawa orang biasa boleh membuat luar biasa berlaku jika diberi peluang. Kreativiti dilihat sebagai imaginasi digunakan. Di Bandar Creative ia bukan sahaja artis dan mereka yang terlibat dalam ekonomi kreatif yang kreatif , walaupun mereka memainkan peranan yang penting. Kreativiti boleh datang dari mana-mana sumber termasuk sesiapa sahaja yang menangani isu-isu dengan cara yang berdaya cipta sama ada seorang pekerja sosial, orang perniagaan , ahli sains atau pengkhidmat awam.
Ia mendukung bahawa budaya kreatif dibenamkan dalam bagaimana pemegang kepentingan bandar beroperasi. Dengan
menggalakkan mengesahkan penggunaan imaginasi dalam awam , swasta dan
masyarakat Spheres bank idea-idea yang kemungkinan dan penyelesaian yang
berpotensi untuk sebarang masalah bandar akan diperluaskan.
Ini memerlukan infrastruktur luar perkakasan - bangunan, jalan raya atau kumbahan. Infrastruktur kreatif adalah gabungan yang keras dan lembut. Yang terakhir ini termasuk pemikiran yang bandar ini , bagaimana ia menghampiri peluang dan masalah; suasana dan insentif dan rejim kawal selia.
Untuk
menjadi sebuah bandar yang kreatif infrastruktur lembut termasuk: Satu
pasukan kerja yang berkemahiran tinggi dan fleksibel ; pemikir dinamik ,
pencipta dan pelaksana . Kreativiti adalah bukan sahaja tentang mempunyai idea, tetapi juga keupayaan untuk melaksanakannya.
Kota
Kreatif mengenal pasti , memupuk , menarik dan mengekalkan bakat jadi
ia mampu menggerakkan idea-idea , bakat dan organisasi kreatif. Persekitaran dibina - peringkat dan penubuhan - adalah penting untuk mewujudkan persekitaran yang . Satu
persekitaran yang kreatif adalah tempat yang mengandungi keperluan yang
diperlukan dari segi infrastruktur keras dan lembut untuk menjana satu
aliran idea dan ciptaan . Persekitaran boleh menjadi bangunan, jalan kawasan, bandar atau wilayah.
Populariti
kreativiti muncul kerana pengiktirafan yang meningkat bahawa dunia dan
struktur ekonomi, sosial dan budaya telah berubah secara dramatik. Ini didorong sebahagiannya oleh revolusi teknologi maklumat. Cara lama tidak bekerja cukup baik. Pendidikan
tidak menyediakan pelajar untuk tuntutan dunia baru; organisasi ,
pengurusan dan kepimpinan dengan etos kawalan dan tumpuan hierarki tidak
memberi fleksibiliti , keupayaan menyesuaikan diri dan daya tahan untuk
menghadapi persekitaran persaingan yang baru muncul; bandar-bandar yang
suasana , rupa dan rasa adalah perindustrian dan di mana kualiti reka bentuk adalah rendah tidak menarik dan berdaya saing. Menghadapi
perubahan ini memerlukan penilaian semula sumber bandar-bandar dan
potensi dan proses perlu semula ciptaan - dalam semua bidang.
3. Kualiti Hidup
Secara umumnya, kualiti hidup melibatkan perubahan dalam masyarakat dan sistem hidup atau sistem sosial daripada satu keadaan yang yang dianggap tidak memuaskan kepada satu keadaan yang lebih baik. Dengan demikian, kualiti hidup merangkumi bukan sahaja pembangunan ekonomi malahan juga melibatkan pelbagai aspek tertentu yang tidak dapat dipisahkan seperti aspek sosial, psikologi, kebudayaan, politik dan alam sekitar. Namun begitu, aspek yang paling utama dalam memberi kehidupan yang berkualiti kepada manusia secara khasnya mengandungi empat perkara iaitu politik, ekonomi, sosial dan pendidikan (Szalai & Andrews.1980). Menurut Schmandt dan Bloomberg(1969) maksud kehidupan dari sudut yang lain ialah melibatkan aktiviti seluruh negara termasuk tabiat individu, pembangunan, sumber suka atau tidak suka dan pelbagai lagi. Ringkasnya, kehidupan mengubah setiap perkara dan setiap perwatakan sama ada melibatkan kematian atau kehidupan. Kehidupan juga menunjukkan kepada setiap perkara yang hidup dan juga proses kehidupan serta sifat dalam persekitaran. Namun begitu terdapat beberapa masalah dan kesilapan yang timbul dalam pendefinisian maksud kualiti hidup.
Kualiti hidup merupakan jangka waktu deskriptif yang merujuk kepada emosi manusia, sial dan fizikal yang sihat dan keupayaan mereka untuk berfungsi dengan tugas biasa dalam kehidupan (Leplege & Hunt: 1997).Kualiti hidup di Malaysia ditakrifkan sebagai merangkumi kemajuan diri, gaya hidup yang sihat, kecapaian dan kebebasan untuk memperolehi pengetahuan dan menikmati taraf hidup yang melebihi keperluan asas dan psikologi individu, untuk mencapai tahap kesejahteraan sosial yang seiring dengan hasrat negara. Apabila sesebuah masyarakat beralih kepada suasana kehidupan yang pada amnya lebih baik, maka kualiti hidupnya dianggap telah meningkat (Unit Perancang Ekonomi: 2002).
Mengikut World Health Organization (1993), kualiti hidup didefinisikan sebagai tanggapan individu mengenai posisi kehidupan mereka dalam konteks budaya dan sistem di mana ia berhubung rapat dengan matlamat, jangkaan, tahap dan beban. Lehman (1983) melihat kualiti hidup sebagai deria terhadap pengalaman terbaik yang dialami oleh individu di bawah pengaruh kehidupan masing-masing. Menurut Bigelow et al. (1982), kualiti hidup ialah titik pemisahan di mana ia menyatukan semua faktor dalam kehidupan di mana kita akan mendapati bahawa terdapat kekurangan dan kelebihan dalam keinginan dan kepuasan.
Kompenan alam sekitar mempunyai kesan langsung ke atas kesejahteraan penduduk. Pencemaran udara dan air serta kawasan hutan adalah antara petunjuk kualitialam sekitar (Unit Perancang Ekonomi: 1999). Dalam tempoh 1990 hingga 2000 kualitialam sekitar yang diukur melalui indeks kualiti udara, kualiti air dan kawasan berhutanhampir tidak berubah pada 100.2 mata. Tahap kualiti udara adalah sederhana dan baik.
Ringkasnya, kualiti hidup berkait dengan kesejahteraan am penduduk. Bagi kerajaan termasuk kerajaan tempatan tanggungjawab meningkatkan kualiti hidup yang lebih baik dengan memastikan keperluan infrastruktur utiliti dan kemudahan masyarakat, institusi untuk pertubuhan sosial dan urus tadbir yang membenarkan hak individu untuk bersuara dan membuat pilihan pada tahap yang sesuai diwujudkan secukupnya.
4. Rupabentuk Bandar
5. Dinamik Bandar
6. Bandar Global
Bandar raya global (juga dikenali sebagai bandar raya dunia atau bandar raya alfa) ialah bandar raya yang ditentukan melalui titik pertemuan penting dalam sistem ekonomi global. Konsep yang berasal dari bidang geografi dan kajian bandar ini berteraskan gagasan bahawa globalisasi
difahami sebagai dicipta, dimudahkan dan dilaksanakan terutamanya di
tempat-tempat yang strategik mengikut hierarki kepentingan dan
pengendalian sistem kewangan dan perdagangan sedunia.
Paling kompleks di kalangan entiti-entiti sedemikiannya ialah "bandar raya global" (global city), yang mana perhubungan bandar raya ini membawa kesan sosio-ekonomi yang langsung dan ketara terhadap hal-ehwal sedunia.[1] Istilah global city dipercayai dicipta oleh ahli sosiologi Saskia Sassen sebagai memaksudkan London, New York dan Tokyo dalam hasil kerja The Global City (1991),[2] biarpun istilah world city (bandaraya dunia) yang memaksudkan kota-kota yang jauh menguasai lebih banyak perniagaan global berbanding tempat dipakai seawal-awal penggunaan sulungnya oleh Patrick Geddes pada tahun 1915.[3] Sesebuah bandaraya boleh hilang kelayakannya sebagai bandaraya global, misalnya yang semakin kurang bersifat kosmopolitan, dan semakin pudar namanya di peringkat dunia, cth. Kaliningrad, Rusia, Thessaloniki, Greece dan Iskandariah, Mesir.
Taraf bandar raya global atau bandar raya dunia memang dipandang tinggi nilainya. Oleh sebab itu ramai pihak yang cuba menggolongkan dan menarafkan bandar raya yang mana boleh dikira sebagai 'bandar raya dunia' atau sebaliknya.[3] Although there is a consensus upon leading world cities,[4] the criteria upon which a classification is made can affect which other cities are included.[3] Kaedah pengenalpastiannya adalah sama ada berasaskan "pengukur nilai" (cth. "jika sektor pengeluaran dan perkhidmatan ialah sektor terbesarnya, maka bandaraya X ialah bandaraya dunia")[3] ataupun "penentuan perbandingan" ("juka sektor pengeluaran dan perkhidmatan bandaraya X lebih besar berbanding sektor pengeluaran dan perkhidmatan N bandaraya lain, maka bandaraya X ialah bandaraya dunia").[3]
Paling kompleks di kalangan entiti-entiti sedemikiannya ialah "bandar raya global" (global city), yang mana perhubungan bandar raya ini membawa kesan sosio-ekonomi yang langsung dan ketara terhadap hal-ehwal sedunia.[1] Istilah global city dipercayai dicipta oleh ahli sosiologi Saskia Sassen sebagai memaksudkan London, New York dan Tokyo dalam hasil kerja The Global City (1991),[2] biarpun istilah world city (bandaraya dunia) yang memaksudkan kota-kota yang jauh menguasai lebih banyak perniagaan global berbanding tempat dipakai seawal-awal penggunaan sulungnya oleh Patrick Geddes pada tahun 1915.[3] Sesebuah bandaraya boleh hilang kelayakannya sebagai bandaraya global, misalnya yang semakin kurang bersifat kosmopolitan, dan semakin pudar namanya di peringkat dunia, cth. Kaliningrad, Rusia, Thessaloniki, Greece dan Iskandariah, Mesir.
Taraf bandar raya global atau bandar raya dunia memang dipandang tinggi nilainya. Oleh sebab itu ramai pihak yang cuba menggolongkan dan menarafkan bandar raya yang mana boleh dikira sebagai 'bandar raya dunia' atau sebaliknya.[3] Although there is a consensus upon leading world cities,[4] the criteria upon which a classification is made can affect which other cities are included.[3] Kaedah pengenalpastiannya adalah sama ada berasaskan "pengukur nilai" (cth. "jika sektor pengeluaran dan perkhidmatan ialah sektor terbesarnya, maka bandaraya X ialah bandaraya dunia")[3] ataupun "penentuan perbandingan" ("juka sektor pengeluaran dan perkhidmatan bandaraya X lebih besar berbanding sektor pengeluaran dan perkhidmatan N bandaraya lain, maka bandaraya X ialah bandaraya dunia").[3]